Tempel Gambar di Lemari untuk Motivasi
Heru Gendon bersama anak dan rekannya di depan koleksi motornya.[Radar Solo] |
Tidak ada batasan harga untuk motor klasik. Dan bagi penggemarnya, urusan rupiah di nomor sebelaskan. Ketika belum bisa beli, menempel gambar motor di lemari bisa jadi obat galau.
Bripka Heru Gendon mengaku gemar motor klasik sejak masih kanak-kanak. Tapi, impian punya motor lawas harus dikubur dalam-dalam karena dia memiliki banyak saudara dan masih butuh biaya sekolah.
Bukannya putus asa, ketika diterima menjadi anggota Dalmas Satuan Sabhara Polresta Surakarta, dia menabung untuk membeli sepeda motor Binter Mercy 1980 seharga Rp 2,5 juta.
"Saya sisihkan sebagian gaji. Untuk motivasi, gambar motornya saya pasang di lemari. Beberapa tahun kemudian saya beli DKW Union seharga Rp 12 juta. Sampai jual sapi satu ekor," jelasnya.
Di awal membeli motor lawas, sang istri sewot karena harganya relative mahal. Namun, berjalannya waktu, sang istri bisa paham hobi Gendon. Kini, pria berkumis tebal itu sudah punya koleksi motor AJS 1956, Triumph1960, serta Harley Davidson.
"Hobi ini bukan sekadar kesenangan semata. Tapi, juga investasi. Karena semakin bertambah tahun, harga motor ini semakin mahal," kata dia.
Faktor lainnya, Gendon mendapatkan kepuasan ketika menunggangi motor lawas karena bentuknya yang unik dan menjadi pusat perhatian pengguna jalan lainnya.
Anggota komunitas motor klasik Eagle Eyes, Dede Hardito mengaku mengoleksi puluhan motor klasik. Salah satunya Harley Davidson Duoglide Police 1960 yang saat ini harganya sudah menyentuh Rp 425 juta. "Saya beli impor sekitar dua tahun lalu,” jelas dia.
Mengingat harga motor klasik yang selangit, Dede mengimbau penghobi anyar tidak buru-buru membeli. Lebih baik terlebih dahulu gabung dengan klub motor guna mencari informasi. "Minimal tahu membedakan mana motor yang masih layak, mana yang tidak. Jadi tidak tertipu," ujarnya.
Wakil Ketua Eagle Eyes Chapter Solo, Agustinus Condro tergila-gila dengan motor tua sejak duduk di bangku STM pada 1992. Koleksi pertamanya yakni DKW Union buatan Jerman produksi 1956.
"Waktu itu yang beliin bapak urunan sama si mbah. Waktu itu, kondisinya (mesin, Red) sudah direstorasi, tapi tidak maksimal. Saya bawa ke bengkel, tiga bulan akhirnya rampung," jelas warga Jalan Purworejo No 10 B Kelurahan Mangubumen, Kecamatan Banjarsari.
Beberapa tahun kemudian, Condro berganti motor menjadi BSA 250 cc. Hingga saat ini, koleksi motor lawasnya yakni AYS Choper, DKW Hummel Super, Trail DT, serta DKW Hummel 58.
Disinggung soal perawatan, Condro mengatakan, bukan motor antik kalau tidak rewel. Tapi, untuk kerusakan ringan, dirinya bisa memperbaiki sendiri. (atn/wa)
(rs/atn/per/JPR)
SUMBER: RADAR SOLO
No comments